Sesungguhnya, nilai keagamaan terbesar bertumpu pada dua hal, yaitu iqra dan ijtihad. Secara sederhana, iqra berarti membaca, termasuk tindakan menganalisa, meneliti, mendalami, bahkan menguji beragam fenomena dan perspektif. Sementara, ijtihad dapat diinterpretasikan sebagai kerja tafsir dengan akal sehat berbasis beragam pengetahuan dan kematangan jiwa untuk menangkap berbagai fenomena, yang dilakukan dalam etos kerja yang berkualitas.
Dua kata ini adalah oasis yang memberi ruang bagi estetika, sains, teknologi, dan etika yang berbasis humaniora. Melihat betapa seringnya nilai-nilai agama dipertentangkan dengan nilai-nilai pendidikan politik yang berkaitan dengan demokratisasi, iqra dan ijtihad menjadi oasis bagi penciptaan karya, khususnya dalam film.
Film-film berkualitas senantiasa menuntut kemampuan ‘membaca’ dan ‘menafsir’. Film-film ini tidak hanya memberi ruang bagi kenyataan hidup atau keteladanan, namun juga memberi ruang gugatan, atau juga visi personal pencipta dalam gabungan kompleks yang sangat menuntut kemampuan iqra dan ijtihad. Di dalamnya, ruang demokratisasi penciptaan dan apresiasi menjadi nilai utama.
Catatan di atas merujuk pada satu hal, yaitu bahwa film mampu menjadi medium pendidikan yang dapat memberi ruang untuk iqra dan ijtihad dalam perspektif demokrasi, dan dengan demikian dapat menumbuhkan masyarakat sipil yang kritis, demokratis, dan produktif.
Sejarah menunjukkan sebuah pergulatan panjang perihal film religi dan perannya dalam menyalurkan nilai-nilai keagamaan. Khususnya di Indonesia, 80% film religi umumnya menampilkan simbol-simbol agama dan dakwah larangan-kebolehan sekaligus cerita-cerita keteladanan, serta pengorbanan untuk agama. Hal ini semakin diperkuat oleh keberadaan pasal penghinaan agama yang senantiasa disalahgunakan dan karenanya ditakuti oleh para produser. Mengingat besarnya biaya produksi film, ditambah dengan sejarah traumatik tentang segala bentuk pelarangan peredaran dan sensor, khususnya dengan aspek agama, pasal ini menjadi momok dalam penciptaan karya. Para pembuat film cenderung memilih jalur aman dan mengikuti stereotip cerita keteladanan dan simbol agama yang aman guna menarik massa Islam serta mengurangi risiko pelarangan peredaran.
Hal ini menunjukkan kecenderungan produser untuk lebih mempertimbangkan aspek perdagangan dan dakwah hitam-putih ketimbang civic education. Akibatnya, film berbau keagamaan malah menjadi medium syiar ‘radikal’, membawa nilai hitam-putih tanpa memberi ruang untuk pembacaan dan penafsiran.
Sejarah film juga mencatat bahwa ciri film religi sangat bergantung pada kebijakan politik pemerintahan yang berkuasa. Pada Era Soeharto yang sangat anti komunisme dan Islam radikal, film-film demikian tidak bertumbuh, dan justru bertumbuhlah film-film religi yang terbuka, seperti Titian Serambut Dibelah Tujuh, dll. Hal ini dilanjutkan dengan ruang bebas pasca 1998 yang mendukung kemunculan berbagai syiar agama, baik yang terbuka ataupun radikal.
Madani IFF 2023 hendak memfasilitasi ruang untuk iqra dan ijtihad seluas-luasnya dalam penciptaan demi mendorong terwujudnya karya-karya yang dapat menyokong civic education.