Melalui program Madani Classics, kita akan berkenalan dengan karya-karya dari masa lalu, dalam beragam konteks kebudayaan Muslim, yang memungkinkan kita untuk menempatkan diri dalam linimasa sejarah dan merefleksikan keberadaan kita pada hari ini.
Tahun ini, Madani Classics akan menayangkan dua film. Judul pertama adalah film panjang dari benua Afrika, dan ia akan ditemani oleh sebuah film pendek dari wilayah barat Asia. Judul pertama, Beirutu al Lika karya Borhane Alaouie dari Lebanon, kembali kami upayakan agar bisa menemui penonton setelah tahun lalu mengalami hambatan teknis.
Beirutu al Lika dirilis pada tahun 1981 dengan judul bahasa Inggris The Beirut Encounter, yang kalau diterjemahkan kira-kira berarti ”Pertemuan di Kota Beirut”. Di sebuah kota yang semula makmur sebelum menemui kehancuran dan terbelah, dua kawan dekat Haydar dan Zeyna berupaya bertemu kembali sesudah perang saudara. Perang ini menorehkan batas geografis yang memisahkan komunitas Muslim dan Kristiani, serta membuat banyak penduduk memutuskan pergi menyelamatkan diri. Dalam film ini, Borhane Alaouie tak banyak memberi petunjuk gamblang mengenai identitas spiritual kedua tokoh utama. Akan tetapi dia memberi penegasan pada dua dunia berbeda melalui kontras antara yang centang perenang dan yang teratur, kemacetan lalu lintas dan ketimpangan akses telekomunikasi.
Film yang kedua durasinya tak sampai setengah jam, akan tetapi merupakan film yang sangat kaya. Khaneh siah ast atau judul berbahasa Inggrisnya The House is Black–“Rumah Warnanya Hitam”–adalah perpaduan puisi karya penyair perempuan sekaligus sutradara Forugh Farrokhzad dan rekaman kehidupan di koloni karantina lepra. Film ini adalah ajakan untuk mengolah makna keindahan dan keburukan, juga rasa syukur dan perjuangan menghadapi sakit. Mungkin pada zaman sekarang, cara membuat film di komunitas dengan kondisi kesehatan tertentu atau disabilitas akan dikerjakan dengan cara berbeda untuk memberi ruang yang lebih lapang bagi subjektifitas mereka. Akan tetapi, film ini diselesaikan pada 1963, saat teknologi perekaman langsung belum tersedia merata di seluruh dunia. Aspek tantangan teknologi inilah yang membentuk Khaneh siah ast menjadi film esai dengan iringan pembacaan kutipan kitab suci dan puisi. Dengan bentuknya yang nyaris tanpa penyampaian suara langsung, film ini berupaya menghubungkan penonton dengan isi hati penghuni koloni lewat ekspresi wajah, gerak, ujaran dan tulisan mereka.
Kedua film dalam program Madani Classics tahun ini memiliki bahasa cerita yang sangat berbeda. Kami harap keragaman ini dapat menularkan semangat yang sama kepada para penonton yang tentunya juga dikelilingi ragam ekspresi spiritual, budaya, dan bahasa.