Skip links

Madani Kids

Dalam tradisi keilmuan Islam terdapat satu konsep yang disebut tashil (memudahkan). Konsep tashil ini termanifestasi dalam karya-karya besar ulama dalam berbagai cabang ilmu; fiqh, tasawuf, tauhid, nahwu, sarf, hingga kedokteran dan astronomi. Tashil tidak hanya muncul pada bagaimana substansi ilmu dijelaskan, tetapi juga pada percetakan buku-buku yang membahas keilmuan tersebut.

Kita ambil contoh pada salah satu cabang ilmu, yaitu fiqh. Dalam penulisan buku, para ulama membagi kitab-kitab mereka ke dalam; matan, syarah, dan hasyiah. Matan adalah kitab ringkas yang berisi poin-poin penting dari cabang ilmu tersebut, biasanya juga dalam bentuk bait-bait syair yang memudahkan pelajar untuk menghafal. Kemudian ulama-ulama yang menyadari bahwa cukup sulit untuk memahami tiap terma dalam Matan, berinisiatif untuk menjelaskannya dalam kitab yang disebut Syarah. Selanjutnya pada Hasyiah, ulama menulis lebih panjang terkait masalah-masalah kontemporer.

Semua itu masih tertulis dalam bahasa Arab. Ulama asal Nusantara, menyadari bahwa cukup sulit dan butuh waktu panjang bagi masyarakat Indonesia saat itu untuk belajar bahasa Arab, berinisiatif menulis kembali kitab-kitab tadi ke dalam bahasa Jawi (Arab-Melayu). Sebut saja Mir’at At-Thullab karya Syeikh Abdurrauf As-Singkily, seorang ulama asal Aceh, yang merupakan intisari dari kitab Fathul Wahab karya Syeikh Zakaria Al-Ansari, ulama yang bergelar Syaikhul Islam dan dikenal juga sebagai Syeikh Islam.

Sejarah percetakan kitab-kitab tersebut juga menerapkan konsep tashil. Di awal-awal masa Islam, penulisan kitab sering sekali tidak menggunakan tanda baca. Tanda baca justru diadopsi dari tradisi “barat”. Setelah mesin cetak ditemukan, kitab-kitab dalam keilmuan Islam menggunakan metode Hamisy, menulis kitab Matan di pinggir, kemudian Syarah (penjelasan) di dalam. Seiring berkembangnya komputer, kitab-kitab ini kemudian dicetak dalam bentuk paragraf-paragraf, dengan maksud memudahkan pembacanya, menjadikan pembacanya tidak asing dengan pola penulisan.

Dari konsep di atas, kami kemudian ingin menjadikan transfer pengetahuan tentang ‘Buhul’, yang kami definisikan dalam konteks zaman ini sebagai bentuk “solidaritas bagi seluruh muslim di dunia” kepada generasi yang jauh lebih muda, di mana budaya layar (screen culture) cukup kentara bagi mereka. Sebagaimana konsep tashil di atas, kami juga ingin anak-anak memahami substansi dari ajaran Islam dengan cara mereka, dengan apa yang mereka lihat sehari-hari.

Madani IFF juga ingin menunjukkan kepada generasi muda bahwa Islam juga terbuka terhadap kebaruan, terbuka untuk teknologi-teknologi yang memudahkan penyampaian risalah kebaikan bagi seluruh umat manusia. Melalui sinema, sebagai teknologi mutakhir dalam penyampaian pesan dan bentuk seni yang modern kami gunakan untuk membumikan ‘Buhul’, bentuk solidaritas dalam kehidupan. Lewat persaudaraan yang terjalin dalam ‘Buhul’, Madani IFF hendak mengingatkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengumpamakan Muslim bagaikan jiwa yang satu.

— Akbar Rafsanjani

Current Month

08oktober14:0014:00(GMT+07:00) Kineforum: Studio Asrul SaniProgramMadani KidsSi Juki The Movie: Panitia Hari Akhir

08oktober16:0016:00(GMT+07:00) Kineforum: Studio Asrul SaniProgramMadani KidsMadani Kids: Short Compilation

Kami menggunakan cookie untuk memastikan Anda mendapatkan pengalaman terbaik di situs kami. Oh ya, konten di situs ini masih terus kami perbarui untuk Anda!
Jelajah
Geser